Wednesday, December 18, 2013

RI Universities Cannot Compete Internationally

Universities in Indonesia are having difficulties matching the world’s prominent universities and even Asia’s best. 

None of our universities are on the list of the 100 best Asian universities in 2013, according to Times Higher Education, while Singapore, Thailand and Malaysia have institutions on the list. Despite the abundant resources spent by the government on improving the quality of education, it seems our “best universities” cannot even be the best (or even close to the best) in ASEAN, let alone in Asia or globally. Here are some problems we face in improving our higher education system.  

First, the best people do not become lecturers. All parents, if they had the choice, would pick the best people to teach their children. It is widely accepted that the quality of education systems cannot exceed the quality of teachers.

However, the best students have no desire to become lecturers. They usually go to large multinational companies, which compete aggressively to recruit our best graduates. Some companies provide scholarships to top students, with the agreement that the students must work for the companies following graduation.  

On the contrary, our universities do not usually have clear recruitment strategies and procedures. University officials are mostly very passive and not very creative when it comes to recruiting new lecturers. Faculty staff do not bother to attract talented candidates or seriously look at selecting the best students who could become excellent teachers. 

Second, there is no financial security for lecturers. The main salary of a lecturer is insignificant compared to those with similar education levels who work in other industries. Low salaries make university lecturer positions unattractive to the country’s best and brightest.  

There are many great Indonesian PhD holders who have opted to teach in universities abroad, earning much more than they would have done working in Indonesian universities. Unfortunately, we cannot expect them to return to Indonesia to strengthen our educational systems for many reasons, one being the amount of salary involved.

Further, faculty members resort to other sources of income to survive. The side jobs include teaching in other universities, becoming consultants, establishing a business and public speaking. These side jobs have significantly distracted our lecturers from their commitment to the quality of higher education.  

As a result, being a lecturer is a full-time job only on paper. Some are even willing to cancel classes for these side jobs, especially if the jobs provide significant monetary incentives. Further, many offices of lecturers are vacant most of the time. This would never happen in good universities with established governing systems. 

Therefore, if the Education and Culture Ministry has difficulties finding ways to absorb the 20 percent budget from the government, it might start thinking about increasing the salaries of university lecturers.

Third, reward and punishment systems are ineffective. University lecturers are perceived as the most valuable assets to the academic institutions. In fact, some argue the lecturers are the university itself, as most decisions concerning the institution are made by lecturers. However, these so called “assets” can be classified into three groups: Operating assets, non-operating assets and troubled assets.  

Many faculty members are great teachers, productive researchers and effective administrators (operating assets), while some of them are ineffective in their main assignments (non-operating assets), and there are usually a few who create chronic problems for the institution and who are persistent in their bad behavior (troubled assets). 

Ideally, the operating assets are rewarded, the non-operating assets are warned or further trained and the troubled assets are “liquidated”. Unfortunately, what sometimes happens is that the institution punishes the high performing (usually young) lecturers by giving them more assignments (with no financial incentives), while the university does not have the authority to warn misbehaving, or fire troubled lecturers.  

Fourth, there is too much teaching and not enough research. To promote research, world-class universities usually limit teaching loads to three or fewer courses per semester for their faculty. Some lecturers hired to conduct research will teach even fewer classes. 


College deans are pure administrators and they do not usually teach, while department heads might teach one class per semester. Their income is not dependent upon how many classes they teach as they receive a fixed salary, and the teaching load is agreed during the hiring process.  

Yet in Indonesia, many lecturers are severely overloaded as they might teach more than 10 classes per semester — with financial incentives for teaching more classes. Even deans, department heads and other officials sometimes teach many classes. Thus, it is difficult for a lecturer to control his teaching quality and to find time for research. 

What usually happens is that our lecturers will co-author studies with their students and shift the research workload to the students. In good universities, most lecturers co-author with other lecturers. This difference in research partnerships definitely affects the quality of research.  

Even lecturers in a so-called “teaching university” abroad do not usually teach more than five classes per semester. 

A university in Indonesia wanting to declare itself a “research university” should limit the teaching load of its faculty members to provide space for research. We need to establish a compensation system to reduce the teaching load without lowering the income, and a system that fosters research.

 The writer is a lecturer at the School of Economics and Business, Gadjah Mada University (UGM) in Yogyakarta. He has lectured in the US and the Middle East.

source : http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/07/ri-universities-cannot-compete-internationally.html

Tuesday, December 3, 2013

ETIKA BISNIS

Nama : Ulfah Indriyani
NPM  : 18210318
Kelas : 4EA18


MACAM-MACAM NORMA

Pengertian Norma

Pengertian norma secara umum adalah aturan-aturan atau pedoman sosial yang khusus mengenai tingkah laku, sikap, dan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan di lingkungan kehidupannya.

Norma terdiri dari berbagai macam, antara lain:
      1.      Norma Agama
      2.      Norma Kesusilaan
      3.      Norma Kesopanan
      4.      Norma Kebiasaan (habit)
      5.      Norma Hukum

Penjelasan dan pengertian masing-masing jenis/macam norma yang berlaku dalam masyarakat:

      1.      Norma Agama
Adalah suatu norma yang berdasarkan ajaran aqidah suatu agama. Norma ini bersifat mutlak yang mengharuskan ketaatan para penganutnya. Apabila seseorang tidak memiliki iman dan keyakinan yang kuat, orang tersebut cenderung melanggar norma-norma agama.

      2.      Norma Kesusilaan
Adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati sanubari manusia. Pelanggaran norma kesusilaan ialah pelanggaran perasaan yang berakibat penyesalan. Norma kesusilaan bersifat umum dan universal, dapat diterima oleh seluruh umat manusia.

      3.      Norma Kesopanan
Adalah norma yang timbul dan diadakan oleh masyarakat itu sendiri untuk mengatur
pergaulan sehingga masing-masing anggota masyarakat saling hormat menghormati. Akibat dari pelanggaran terhadap norma ini ialah dicela sesamanya, karena sumber norma ini adalah keyakinan masyarakat yang bersangkutan itu sendiri.

Hakikat norma kesopanan adalah kepantasan, kepatutan, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Norma kesopanan sering disebut sopan santun, tata krama atau adat istiadat. Norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi segolongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.

      4.      Norma Kebiasaan (habit)
Merupakan norma yang keberadaannya dalam masyarakat diterima sebagai aturan yang mengikat walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku dalam masyarakat yang dilakukan berulang-ulang mengenai sesuatu hal yang sama, yang dianggap sebagai aturan hidup . Kebiasaan dalam masyarakat sering disamakan dengan adat istiadat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat.

      5.      Norma Hukum
Ialah peraturan-peraturan yang timbul dan dibuat oleh lembaga kekuasaan negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaanya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, sumbernya bisa berupa peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, kebiasaan, doktrin, dan agama.
Keistimewaan norma hukum terletak pada sifatnya yang memaksa, sanksinya berupa ancaman hukuman. Penataan dan sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan hukum bersifat heteronom, artinya dapat dipaksakan oleh kekuasaan dari luar,
yaitu kekuasaan negara


ETIKA

Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni “ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan hidup yang dianggap baik oleh kalangan masyarakat tertentu. Ada juga yang mengartikan etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens : 2004 )

Secara umum etika dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Etika Umum dan Etika Khusus.

      1.       Etika Umum

Etika umum menyajikan suatu pendekatan yang teliti mengenai norma-norma yang berlaku secara umum bagi setiap warga masyarakat. Selanjutnya, norma dibedakan menjadi tiga bagian, yakni norma sopan santun, norma hukum dan norma moral. Norma moral sopan santun dibedakan dari norma moral karena hanya pada suatu kebiasaan. Norma-norma sopan santun hanya berdasarkan kesepakatan yang biasa disebut Konvensiv

      2.       Etika Khusus

Etika Khusus merupakan Etika dalam penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu :
·        Etika Individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
·     Etika Sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia

Ada dua macam etika yang harus dipahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia, antara lain:

1.   Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.

2.   Etika normatif yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

 

PRINSIP-PRINSIP DALAM ETIKA BISNIS

Pada dasarnya, setiap pelaksanaan bisnis seyogyanya harus menyelaraskan proses bisnis tersebut dengan etika bisnis yang telah disepakati secara umum dalam lingkungan tersebut. Sebenarnya terdapat beberapa prinsip etika bisnis yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap bentuk usaha.

Sonny Keraf (1998) menjelaskan bahwa prinsip etika bisnis adalah sebagai berikut:
  1. Prinsip Otonomi yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
  2. Prinsip Kejujuran terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
  3. Prinsip Keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai criteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan. 
  4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual Benefit Principle) menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. 
  5. Prinsip Integritas Moral terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan atau orang-orangnya maupun perusahaannya. 


STAKEHOLDERS

Stakeholders adalah kelompok atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi. Clarkson membagi stakeholder menjadi dua: stakeholder primer dan stakeholder sekunder.
  • Stakeholders Primer
Adalah ‘pihak di mana tanpa partisipasinya yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan.’ Contohnya adalah pemegang saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson, suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem stakeholder primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan, dan tanggung jawab yang berbeda.
  • Stakeholders Sekunder
Didefinisikan sebagai ‘pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan, tapi mereka tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting untuk kelangsungan hidup perusahaan.’ Contohnya adalah media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perusahaan. 

Clarkson (dalam artikel tahun 1994) juga telah memberikan definisi yang bahkan lebih sempit lagi di mana stakeholder didefinisikan sebagai suatu kelompok atau individu yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘stakeholder sukarela’), ataupun karena mereka menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘stakeholder non-sukarela’). Karena itu, stakeholder adalah pihak yang akan dipengaruhi secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.


KRITERIA DAN PRINSIP UTILITARIANISME

Utilitarianisme dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1784 – 1832). Ultilitarianisme pada intinya adalah “ Bagaimana menilai baik atau buruknya kebijaksanaan sospol, ekonomi dan legal secara moral” (bagaimana menilai kebijakan public yang memberikan dampak baik bagi sebanyak mungkin orang secara moral). Etika Ultilitarianisme, kebijaksanaan dan kegiatan bisnis sama-sama bersifat teologis. Artinya keduanya selalu mengacu pada tujuan dan mendasar pada baik atau buruknya suatu keputusan.

Kriteria Utilitarianisme
Ada tiga kriteria objektif dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk menilai kebijaksanaan atau tindakan.
  1. Manfaat, bahwa kebijkaan atau tindakan tertentu dapat mandatangkan manfaat atau kegunaan tertentu.
  2. Manfaat terbesar, sama halnya seperti yang di atas, mendatangkan manfaat yang lebih besar dalam situasi yang lebih besar. Tujuannya meminimisasikan kerugian sekecil mungkin. 
  3. Pertanyaan mengenai manfaat, manfatnya untuk siapa? Saya, dia, mereka atau kita. Kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etika. Utilitarianisme adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. 

Dengan kata lain, kebijakan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut Utilitarianisme adalah kebijakan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau tindakan yang memberika kerugian bagi sekecil orang / kelompok tertentu.

Prinsip Utilitarianisme
Atas dasar ketiga Kriteria tersebut, etika Utilitarianisme memiliki tiga prinsip yaitu:
      a.      Tindakan yang baik dan tepat secara moral
      b.     Tindakan yang bermanfaat besar
      c.      Manfaat yang paling besar untuk paling banyak orang

Dari ketiga prinsip di atas dapat dirumuskan sebagai berikut “ bertindaklah sedemikian rupa, sehingga tindakan itu mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak orang mungkin”.

Nilai positif yang didapat dari etika ultilitarinisme antara lain:
  1. Rasionlitas, prinsip moral yang diajukan oleh etika ultilitarinisme tidak didasarakan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak kita pahami. 
  2. Universalitas. mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu tindakan bagi banyak orang yang melakukan tindakan itu. 
Etika ultilitarinisme tidak memaksakan sesuatu yang asing pada kita. Etika ini justru mensistematisasikan dan memformulasikan secara jelas apa yang menurut penganutnya dilakukan oleh kita sehari–hari.

Kelemahan etika ultilitarinisme: 
  • Manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam praktiknya malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit. Karena manfaat manusia berbeda yang satu dengan yang lainnya. 
  • Persoalan klasik yang lebih filosofis adalah bahwa etika ultilitarinisme tidak pernah menganggap serius suatu tindakan pada dirinya sendiri dan hanya memperhatikan nilai dari suatu tindakan sejauh kaitan dengan akibatnya. Padahal, sangat mungkin terjadi suatu tindakan yang pada dasarnya tidak baik, tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat. 
  • Etika ultilitarinisme tidak pernah menganggap serius kemauan atau motivasi baik seseorang. 
  • Variable yang dinilai tidak semuanya bisa dikuantifikasi. Karena itu sulit mengukur dan membandingkan keuntungan dan kerugian hanya berdasarkan variable yang ada. 
  • Kesulitan dalam menentukan prioritas mana yang paling diutamakan. 
  • Bahwa etika ultilitarinisme membenarkan hak kelompok minoritas tertentu dikorbankan demi kepentingn mayoritas. Yang artinya etika ultilitarinisme membenarkan penindasan dan ketidakadilan demi manfaat yang lebih bagi sekelompok orang.
  

SYARAT BAGI TANGGUNG JAWAB MORAL, STATUS PERUSAHAAN, SERTA ARGUMEN YANG MENDUKUNG DAN MENENTANG PERLUNYA KETERLIBATAN SOSIAL PERUSAHAAN

Syarat Bagi Tanggung Jawab Moral

      a.       Tindakan itu dijalankan oleh pribadi yang rasional.
      b.      Bebas dari tekanan, ancaman, paksaan atau apapun namanya.
      c.       Orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu.

Status Perusahaan
Terdapat dua pandangan (Richard T. De George, Business Ethics, hlm.153), yaitu:
  • Legal-creator, perusahaan sepenuhnya ciptaan hukum, karena itu ada hanya berdasarkan hukum.
  • Legal-recognition, suatu usaha bebas dan produktif. 
Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Perusahaan:

      1.      Kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah.
      2.      Terbatasnya sumber daya alam.
      3.      Lingkungan sosial yang lebih baik.
      4.      Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan.
      5.      Bisnis mempunyai sumber daya yang berguna.
      6.      Keuntungan jangka panjang.

Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Perusahaan:
  • Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. 
  • Tujuan yang terbagi-bagi dan harapan yang membingungkan.
  • Biaya keterlibatan sosial.
  • Kurangnya tenaga terampil di bidang kegiatan sosial.
 
PAHAM TRADISIONAL DALAM BISNIS

Secara hakiki, norma keadilan menuntut agar alam mencapai tujuan-tujuan tertenu, termasuk dalam dunia bisnis seseorang tidak boleh mengorbankan hak-hak dan kepentingan-kepentingan orang lain. Definisi keadilan sebagai memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, memberi ciri khas kepada kedilan sebagai norma moral. Pertama, keadilan selalu tertuju kepada orang lain. Kedua, keadilan harus ditegakkan. Ketiga, keadilan selamanya menuntut kesetaraan.

Dalam paham tradisional dalam bisnis memiliki 3 keadilan yaitu :

      a.      Keadilan Legal

Menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan hukum.

     b.      Keadilan Komutatif

Mengatur hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dengan yang lain atau warga negara satu dengan warga negara lainnya. Menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga satu dengan yang lainnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus terjalin dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu dengan lainnya.

      c.       Keadilan Distributif

Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap merata bagi semua warga negara. Menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. Keadilan distributif juga berkaitan dengan prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan yang juga adil dan baik.


HAK PEKERJA

Macam-Macam Hak Pekerja

     ≥     Hak atas Pekerjaan

Hak atas pekerjaan merupakan suatu hak asasi manusia. Karena, pertama, sebagaimana dikatakan John Locke, kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja adalah aktivitas tubuh dan karena itu tidak bisa dilepaskanatau dipikirkan lepas dari tubuh manusia. Kedua, kerja merupakan perwujudan diri manusia. Ketiga,hak atas kerja juga merupakan salah satu hak asasi manusia karena kerja berkaitan dengan hak atas hidup, bahkan hak atas hidup yang layak.

     ≥     Hak atas Upah yang adil

Dengan hak atas upah yang adil sesungguhnya mau ditegaskan tiga hal. Pertama bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan upah. Artinya, setiap pekerja berhak utntuk dibayar. Kedua, setiap orang tidak hanya berhak memperoleh upah yang adil, yaitu upah yang sebanding dengan tenaga yang telah disumbangkannya. Hal ketiga yang mau ditegaskan dengan hak atas upah yang adil adalah bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada perlakuan yang berbeda atau diskriminatif dalam soal pemberian upah kepada semua karyawan.

     ≥     Hak Untuk Berserikat dan Berkumpul

Ada dua dasar moral yang penting dari hak untuk berserikat dan berkumpul. Pertama, ini merupakan salah satu wujud utama dari hak atas kebebasan yang merupakan salah satu hak asasi manusia. Kedua, sebagaimana telah dikatakan di atas, dengan hak untuk berserikat dan berkumpul, pekerja dapat bersama-sama secara kompak memperjuangkan hak mereka yang lain, khususnya hak atas upah yang adil.

     ≥     Hak atas Perlindungan Keamanan dan Kesehatan

Pertama, setiap pekerja berhak mendapatkan perlindungan atas keamanan, keselamatan dan kesehatan melalui program jaminan atau asuransi keamanan dan kesehatan yang diadakan perusahaan itu. Kedua, setiap pekerja berhak mengetahui kemungkinana risiko yang akan dihadapinya dalam menjalankan pekerjaannya dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Ketiga, setiap pekerja bebas untuk memilih dan menerima pekerjaan dengan risiko yang sudah diketahuinya itu atau sebaliknya menolaknya. Jika ketiga hal ini bisa dipenuhi, suatu perusahaan sudah dianggap menjamin cara memadai hak pekerja atas perlindungan keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja.

     ≥     Hak Untuk Diproses Hukum Secara Sah

Hak ini terutama berlaku ketika seseorang pekerja dituduh dan diancam dengan hukuman tertentu karena diduga melakukan pelanggaran atau kesalahan tertentu. Jadi, dia harus didengar pertimbangannya, alasannya, alibinya, saksi yang mungkin bisa dihadapkannya, atau kalau dia bersalah dia harus diberi kesempatan untuk mengaku secara jujur dan meminta maaf.

     ≥     Hak Untuk diperlakukan Secara Sama

Dengan hak ini mau ditegaskan bahwa semua pekerja, pada prinsipnya harus diperlakukan secara sama, secara fair. Artinya, tidak boleh ada diskriminasi dalam perusahaan entah berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, etnis, agama dan semacamnya, baik dalam sikap dan perlakuan, gaji maupun peluang untuk jabatan, pelayihan atau pendidkan lebih lanjut.

     ≥     Hak atas Rahasia Pribadi

Umumnya yang dianggap sebagai rahasia pribadi dank arena itu tidak perlu diketahui dan dicampuri oleh perusahaan adalah persoalan yang menyangkut keyakinan religious, afiliasi dan haluan politik, urusan keluarga, serta urusan social lainnya.

     ≥     Hak atas Kebebasan Suara Hati

Hak ini menuntut agar setiap pekerja harus dihargai kesadaran moralnya. Konkretnya, pekerja tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggapnya tidak baik : melakukan korupsi, menggelapkan uang perusahaan, menurunkan standar atau ramuan produk tertentu demi memperbesar keuntungan, menutup-nutupi kecurangan perusahaan atau atasan.


WHISTLE BLOWING

Dalam dunia bisnis kecurangan merupakan hal biasa, tetapi hal ini sangat merugikan perusahaan dan karyawan lain tentunya. Kecurangan seperti ini harus dicegah agar kerugian moral dan materil dapat dihindari. Cara pencegahannya dapt dilakukan dengan whistle blowing. Whistle blowing adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan entah yang dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang dilapori itu bisa saja atasan yang lebih tinggi atau masyarakat luas. Ada dua macam whistle blowing :

         1.      Whistle Blowing Internal

Hal ini terjadi ketika seorang atau beberapa orang karyawan tahu mengenai kecurangan yang dilakukan oleh karyawan lain atau kepala bagiannya kemudian melaporkan kecurangan itu kepada pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Motivasi utama dari whistle blowing adalah motivasi moral demi mencegah kerugian bagi perusahaan tersebut.

Motivasi moral ada dua macam motivasi moral baik dan motivasi moral buruk. Untuk mencegah kekeliruan ini dan demi mengamankan posisi moralnya, karyawan pelapor perlu melakukan beberapa langkah:
  • Cari peluang kemungkiann dan cara yang paling cocok tanpa menyinggung perasaan untuk menegur sesama karyawan atau atasan itu.
  • Karyawan itu perlu mencari dan mengumpulkan data sebanyak mungkin sebagai pegangan konkret untuk menguatkan posisinya, kalau perlu disertai dengan saksi-saksi kuat. 

         2.      Whistle Blowing Eksternal

Terjadi ketika seseorang atau beberapa orang karyawan mengetahui adanya kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan kemudian membocorkannya kepada masyarakat. Tujuannya untuk mencegah timbulnya kerugian bagi masyarakat.

Motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi masyarakat atau konsumen. Pekerja ini punya motivasi moral untuk membela kepentingan konsumen karena dia sadar semua konsumen adalah manusia yang sama dengan dirinya dan karena itu tidak boleh dirugikan hanya demi memperoleh keuntungan. 


KONTRAK, KEWAJIBAN PRODUSEN, DAN PERTIMBANGAN GERAKAN KONSUMEN
  
Kontrak yang dianggap baik dan adil : 
   o   Kedua belah pihak mengetahui sepenuhnya hakikat dan kondisi persetujuan yang mereka sepakat.
   o   Tidak ada pihak yang memalsukan fakta tentang kondisi dan syarat-syarat kontrak.
   o   Tidak ada pemaksaan.
   o   Tidak mengikat untuk tindakan yang bertentangan dengan moralitas.

Kewajiban produsen :
   o   Memenuhi ketentuan yang melekat pada produk.
   o   Menyingkapkan semua informasi.
   o   Tidak mengatakan yang tidak benar tentang produk yang diwarkan.

Pertimbangan gerakan konsumen :
   o   Produk yang semakin banyak dan rumit.
   o   Terspesialisasinya jenis jasa.
   o   Pengaruh iklan terhadap kehidupan konsumen.
   o   Keamanan produk yang tidak diperhatikan.
   o   Posisi konsumen yang lemah.

 
FUNGSI IKLAN SEBAGAI PEMBERI INFORMASI DAN PEMBENTUK OPINI

Fungsi Iklan

Iklan dilukiskan sebagai komuniskasi antara produsen dan pasar, antara penjual dan calon pembeli. Dalam proses komunikasi iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan demikian kita mendapat kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi. Tujuan terpenting adalah memperiklankan produk/jasa. Fungsi iklan dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berfungsi memberi informasi dan membentuk opini (pendapat umum).
  • Iklan sebagai pemberi informasi
Pendapat pertama melihat iklan terutama sebagai pemberi informasi. Iklan merupakan media untuk menyampaikan informasi yang sebenarnya kepada masyarakat tentang produk yang akan atau sedang ditawarkan dalam pasar. Yang ditekankan di sini adalah  bahwa iklan berfungsi untuk membeberkan dan menggambarkan seluruh kenyataannya yang serinci mungkin tentang suatu produk. Sasaran iklan adalah agar konsumen dapat mengetahui dengan baik produk itu sehingga akhirnya memutuskan untuk membeli produk itu. Namun, apakah dalam kenyataannya pembeli membeli produk tersebut atau tidak, itu merupakan sasaran paling jauh. Sasaran dekat yang lebih mendesak adalah agar konsumen tahu tentang produk itu, kegunaannya, kelebihannya, dan kemudahan-kemudahannya.

Dalam kaitan dengan itu, iklan sebagai pemberi informasi menyerahkan keputusan untuk membeli kepada konsumen itu sendiri. Maka, iklan hanyalahmedia informasi yang netral untuk membantu pembeli memutuskan secara tepat dalam membeli produk tertentu demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, iklan lalu mirip seperti  brosur. Namun, ini tidak berarti iklan yang informatif tampil secara tidak menarik. Kendati hanya sebagai informasi, iklan dapat tetap dapat tampil menarik tanpa keinginan untuk memanipulasi masyarakat.

Sehubungan dengan iklan sebagai pemberi informasi yang benar kepada konsumen, ada tiga pihak yang terlibat dan bertanggung jawab secara moral atas informasi yang disampaikan sebuah iklan.
  1. Produsen yang memeiliki produk tersebut.   
  2. Biro iklan yang mengemas iklan dalam segala dimensi etisnya: etis, estetik, infomatif, dan sebagainya
  3. Bintang iklan. 
Dalam perkembangan di masa yang akan datang, iklan informatif akan lebih di gemari. Karena, pertama, masyarakat semakin kritis dan tidak lagi mudah didohongi atau bahkan ditipu oleh iklan-iklan yang tidak mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Kedua, masyarakat sudah bosan bahkan muak dengan berbagai iklan hanya melebih-lebihkan suatu produk. Ketiga, peran Lembaga Konsumen yang semakin gencar memberi informasi yang benar dan akurat kepada konsumen menjadi tantangan serius bagi iklan.
  • Iklan sebagai pembentuk opini
Berbeda dengan fungsi iklan sebagai pemberi informasi, dalam wujudnya yang laik iklan dilihat sebagai suatu cara untuk mempengaruhi opini masyarakat tentang sebuah produk. Dalam hal ini fungsi iklan mirip dengan fungsi propaganda  politik yang berusaha mempengaruhi massa pemilih. Dengan kata lain, fungsi iklan adalah untuk menarik massa konsumen untuk membeli produk itu. Caranya dengan menampilkan model iklan yang manupulatif, persuasif, dan tendensius dengan maksud untuk menggiring konsumen untuk membeli produk tersebut. Karena itu, model iklan ini juga disebut sebagai iklan manipulatif.

Secara etis, iklan manipulasi jelas dilarang karena iklan semacam itu benar-benar memanipulasi manusia, dan segala aspek kehidupannya, sebagai alat demi tujuan tertentu di luar diri manusia. Iklan persuasif sangat beragam sifatnya sehingga kadang-kadang sulit untuk dinilai etis tidaknya iklan semacam itu. Bahkan batas antara manipulasi terang-terangan dan persuasi kadang-kadang sulit ditentukan.

Untuk bisa membuat penilaian yang lebih memadai mengenai iklan persuasif, ada baiknya kita bedakan dua macam persuasi: persuasi rasional dan persuasi non-rasional. Persuasi rasional tetap mengahargai otonomi atau kebebasan individu dalam membeli sebuah produk, sedangkan persuasi non-rasional tidak menghiraukan otonomi atau kebebasan individu.

Suatu persuasi dianggap rasional sejauh daya persuasinya terletak pada isi argumen itu. Persuasi rasional bersifat impersonal.ia tidak di hiraukan siapa sasaran dari argumen itu.yang penting adalah isi argumen tepat.dalam kaitan dengan iklan,itu berati bahwa iklan yang mengandalkan persuasi rasional lebih menekankan isi iklan yang mau disampaikan. Jadi, kebenaran iklan itulah yang ditonjolkan dan dengan demikian konsumen terdorong untuk membeli produk tersebut. Maka, iklan semacam itu memang berisi informasi yang benar, hanya saja kebenaran informasi tersebut ditampilkan dalam wujud yang sedemikian menonjol dan kuat sehingga konsumen terdorong untuk membelinya. Dengan kata lain, persuasinya didasarkan pada fakta yang bisa dipertanggung jawabkan.

Berbada dengan persuasi rassional, non-rasional umumnya hanya memanfaatkan aspek (kelemahan) psikologis manusia untuk membuat konsumen bisa terpukau, tertarik, dan terdorong untuk membeli produk yang diiklankan itu. Daya persuasinya tidak pada argumen yang berifat rasional, melainkan pada cara penampilan. Maka, yang di pentingkan adalah kesan yang ditampilkan dengan memanfaatkan efek suara (desahan), mimik, lampu, gerakan tubuh, dan semacamnya. Juga logikaiklan tidak diperhatikan dengan baik.

Iklan yang menggunakan cara persuasi dianggap tidak etis jika persuasi itu bersifat non-rasional. Pertama, karena iklan semacam itu tidak mengatakan mengenai apa yang sebenarnya, melainkan memanipulasi aspek psikologis manusia melalui penampilan iklan yang menggiurkan dan penuh bujuk rayu. Kedua, karena iklan semacam ini merongrong kebebasan memilih pada konsumen. Konsumen dipaksa dan didorong secara halus untuk mengikuti kemauan pengiklan , bukan atas dasar pertimbangan yang rasional dan terbukti kebenaranya.


Source :
http://www.organisasi.org/1970/01/pengertian-macam-jenis-norma-agama-kesusilaan-kesopanan-kebiasaan-hukum.html
http://panutan.com/definisi-norma-dan-macam-macam-norma.html
http://communicationrepublic.wordpress.com/2012/11/13/etika/
http://rinaldytonik.wordpress.com/2013/01/21/pengertian-etika-secara-umum/
http://pustakamanajemen.wordpress.com/2012/04/19/prinsip-prinsip-etika-bisnis/
http://benredfield.blogspot.com/2012/05/pengertian-stakeholder-shareholer.html
http://rinaeka12.blogspot.com/2009/11/etika-utilitarianisme.html
http://rinton.blogdetik.com/tag/syarat-bagi-tanggung-jawab-moral/
http://afiarini.wordpress.com/2010/12/17/keadilan-dalam-bisnis/
http://tazmaniabenz.wordpress.com/2009/12/17/hak-pekerja-4/
Velasquez, Manuel G. ETIKA BISNIS Konsep dan Kasus, Edisi 5, Penertbit Andi, Yogyakar
http://cicikris.blogspot.com/2012/10/whistle-blowing-internal-dan-whistle.html
http://afiarini.wordpress.com/2010/12/17/bisnis-dan-perlindungan-konsumen/
http://rizkiafandi.blogspot.com/2013/11/iklan-dalam-etika-dan-estetika-tugas-3.html
http://otnayi.blogspot.com/2011/12/iklan-dan-dimensi-etisnya.html